INDPORTAL.COM,TGM – Penegakan hukum di Indonesia pasca-Reformasi menunjukkan perkembangan berarti. Reformasi hukum, keterbukaan informasi, dan meningkatnya kesadaran masyarakat menjadi pilar penting dalam memperkuat harapan akan tegaknya supremasi hukum, Sabtu (6/9/2025)
Namun, optimisme tersebut kerap terbentur kenyataan pahit, praktik korupsi masih marak, krisis kepercayaan terhadap hukum terus berulang, dan profesionalisme aparat belum sepenuhnya terbangun.
Pemanggilan sejumlah mantan kepala daerah menjadi bukti bahwa hukum kini berani menyentuh lingkaran elite.
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung baru-baru ini memeriksa mantan Gubernur Lampung, Arinal Djunaidi, terkait dugaan korupsi pengelolaan dana participating interest (PI) 10 persen pada wilayah kerja Offshore South East Sumatera (WK OSES) senilai Rp 271,5 miliar. Rumah pribadinya pun turut digeledah jaksa.
Hal serupa juga menimpa mantan Bupati Pesawaran, Dendi Ramadhona, yang diperiksa terkait kasus korupsi proyek sistem penyediaan air minum (SPAM) tahun 2022.
Fakta bahwa pejabat tinggi negara bisa diproses hukum menjadi sinyal positif bahwa tidak ada lagi “zona nyaman” bagi penyalahguna kekuasaan.
Namun, pertanyaan yang muncul, apakah langkah-langkah ini konsisten atau sekadar fenomena sesaat untuk meredam tekanan publik?
Di sisi lain, profesionalisme aparat hukum memang mulai meningkat, akses keadilan semakin luas, dan partisipasi masyarakat kian aktif dalam mengawal kasus-kasus hukum.
Akan tetapi, tanpa independensi lembaga penegak hukum yang benar-benar kuat, semua itu hanya akan menjadi kosmetik demokrasi.
Penegakan hukum bukan sekadar persoalan teknis, melainkan keberanian politik untuk benar-benar memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya.
Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Supremasi hukum bisa menjadi fondasi menuju negara berintegritas, atau justru kembali terperosok dalam lingkaran korupsi dan impunitas.
Di titik inilah komitmen bersama antara negara, aparat, dan masyarakat diuji, apakah hukum benar-benar panglima, atau sekadar alat kekuasaan belaka?
Pertanyaan ini juga relevan di tingkat lokal, khususnya di Kabupaten Tanggamus. Hingga kini, sejumlah kasus besar di daerah ini masih belum jelas penyelesaiannya.
Dugaan keterlibatan mantan Wakil Bupati AM Syafii dalam aliran fee 20 persen proyek pengadaan interior dan eksterior Ruko Kantor PT BPRS tahun anggaran 2021–2022, hingga kasus kebangkrutan PT AUTJ yang merupakan BUMD Tanggamus, tak kunjung tuntas.
Ironisnya, muncul pula dugaan korupsi berjamaah pada anggaran Dinas Kesehatan Tanggamus tahun 2024 senilai Rp127 miliar lebih, serta laporan LSM mengenai dugaan korupsi di Dinas PUPR dengan potensi kerugian miliaran rupiah. Semua kasus ini masih menggantung di meja hukum.
Jika persoalan-persoalan ini dibiarkan tanpa tindak lanjut yang transparan, maka jargon supremasi hukum hanya akan berhenti sebagai retorika.
Masyarakat Tanggamus, sebagaimana masyarakat Indonesia pada umumnya, berhak atas keadilan yang nyata bukan sekadar janji manis atau formalitas hukum yang timpang. (Red)
