INDPORTAL.COM, Jakarta – Di balik gedung-gedung pencakar langit Ibu Kota, pada suatu pagi yang panas di bulan Juli 2025, langkah kaki Rudi Candra dan tim hukum dari Red Justicia Law Firm terdengar mantap menyusuri lantai demi lantai Grand Slipi Tower. Jum’at (25/7/2025)
Mereka membawa secarik harapan dan segumpal tanya: Apa sebenarnya yang terjadi dengan kontrak kerja kedua Eni Kusrini di Hongkong?
Eni Kusrini, seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Tanggamus, Lampung, kembali menjadi buah bibir. Bukan karena prestasinya di negeri orang, melainkan karena teka-teki di balik perpanjangan kontrak kerja keduanya yang diduga kuat ilegal dan bahkan berbau pemalsuan dokumen.
Kisah ini bermula saat Eni memperpanjang masa kerjanya di Hongkong pada 20 Desember 2021. Perpanjangan itu, menurut dokumen yang ada, difasilitasi oleh sebuah perusahaan bernama PT. Della Fadhil Anugrah (PT. DFA).
Namun, ketika Rudi Candra, yang saat ini menjadi mantan suami Eni, berusaha memastikan legalitas kontrak tersebut, ia justru menemukan sesuatu yang janggal.
Nama PT. DFA tercantum jelas dalam dokumen, lengkap dengan nomor dan stempel Konsulat Jenderal RI di Hongkong.
Tapi, saat tim Red Justicia Law Firm melakukan penelusuran ke Grand Slipi Tower, alamat yang seharusnya menjadi kantor perusahaan itu, tidak ditemukan satu pun tanda keberadaan PT. DFA. Tidak ada nama, tidak ada papan, tidak ada jejak.
“Ini sudah janggal sejak awal,”Ujar Adi Putra Amril, S.H., Tim hukum Red Justicia, yang mendampingi Rudi dalam misi pencarian ini.
Langkah berikutnya membawa mereka ke kantor pusat BP2MI (Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia) di Jalan MT. Haryono, Jakarta.
Di sanalah, keganjilan semakin nyata, di hadapan petugas BP2MI bernama Agung, tim memaparkan semua kronologi. Lalu, sistem komputer menunjukkan fakta yang mengejutkan: riwayat Eni Kusrini hanya tercatat sampai kontrak pertamanya, yang berakhir Desember 2021.
“Tidak ada catatan kontrak kedua. Sama sekali,”Kata Agung seperti ditirukan oleh Adi Putra.
Bagaimana bisa kontrak yang memuat stempel resmi Konsulat RI di Hongkong tidak tercatat di sistem BP2MI? Pertanyaan itu menggantung tanpa jawaban.
Sehari kemudian, pihak PT. DFA akhirnya mengundang Red Justicia untuk datang ke kantor barunya di Graha Pegasolin, Jatibening, Bekasi.
Di ruang pertemuan, duduk para pejabat PT. DFA: Direktur Sardono, Corporate Relation Rizal, serta staf lainnya. Dari pihak Red Justicia hadir pula Indra Mustofa, Halimi, dan tentu saja Rudi Candra.
Semua dokumen diperlihatkan, semua kronologi dijelaskan. Tapi reaksi dari PT. DFA malah makin membingungkan.
Mereka tidak mengakui pernah menerbitkan kontrak atas nama Eni Kusrini. Baik manajemen lama maupun yang baru.
“Saya tidak peduli urusan internal kalian,” ujar Adi Putra tegas. “Yang kami tahu, nama perusahaan Anda tertulis dalam kontrak yang berstempel resmi. Artinya, tanggung jawab ada pada PT. DFA.”
Adi bahkan menyebut potensi pelanggaran atas UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Permenaker No. 25 Tahun 2017, serta UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
PT. DFA memilih untuk tidak buru-buru menjawab. Mereka minta waktu. Mereka bilang akan menyelidiki.
Namun bagi Rudi Candra dan tim Red Justicia, ini bukan soal waktu. Ini soal nasib seorang pekerja perempuan di negeri orang yang hak-haknya mungkin telah dirampas. Ini soal martabat negara yang tercoreng jika dokumen resmi bisa dipalsukan begitu saja.
“Kami akan terus perjuangkan. Jika PT. DFA tidak kooperatif, kami akan laporkan ke BP2MI dan Polda Metro Jaya. Kami ingin hukum ditegakkan,”Tegas Rudi.
Di tengah arus urban yang tak kenal henti, kisah Eni Kusrini adalah cermin retak dari sistem penempatan tenaga kerja yang masih menyisakan celah hitam. Celah yang bisa saja menelan siapa pun, jika kita lengah. (*)
