INDPORTAL.COM, Jakarta – Vonis 4,5 tahun penjara terhadap mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, dalam kasus dugaan korupsi impor gula menuai perhatian luas. Senin (21/7/2025)
Putusan yang dibacakan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta ini bukan hanya soal vonis semata, namun tentang kontradiksi mendasar dalam penerapan hukum pidana di Indonesia.
Bagaimana mungkin seseorang divonis bersalah dalam perkara korupsi, sementara dalam pertimbangan majelis hakim disebutkan bahwa terdakwa tidak mendapat keuntungan pribadi dan tidak terbukti memiliki niat jahat (mens rea).
Vonis ini memunculkan pertanyaan serius tentang batas antara maladministrasi kebijakan dan tindak pidana korupsi.
Dalam doktrin hukum pidana klasik, khususnya dalam kasus-kasus white-collar crime atau kejahatan kerah putih, keberadaan niat jahat (mens rea) menjadi elemen krusial. Tanpa itu, sebuah perbuatan sulit dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
Jika vonis seperti ini menjadi preseden, maka setiap kebijakan publik yang berujung pada kerugian negara, meskipun tidak disengaja atau tanpa itikad buruk, dapat digiring menjadi perkara pidana.
Ini sangat berbahaya, terutama bagi para pembuat kebijakan yang tengah berupaya menghadirkan terobosan dalam sistem ekonomi dan perdagangan nasional.
Thomas Lembong sendiri dikenal luas sebagai salah satu pejabat yang mengedepankan reformasi pasar dan efisiensi distribusi pangan.
Ia pernah secara terbuka menolak praktik monopoli dalam tata niaga komoditas strategis. Kini, justru ia menjadi pesakitan dalam kasus yang oleh sebagian pengamat dinilai lebih bersifat politis ketimbang yuridis.
Paradoks ini menjadi peringatan keras bagi pemerintah, aparat penegak hukum, dan publik, hukum pidana tidak boleh digunakan sebagai alat untuk menghukum kebijakan yang tidak populer atau mengalami kegagalan administratif.
Jika tidak, akan terjadi pembusukan sistemik di mana para pejabat akan memilih jalan aman dengan tidak mengambil keputusan sama sekali yang pada akhirnya, justru merugikan rakyat. (*)