INDPORTAL.COM,TGM – Pemilihan kepala daerah telah lama selesai dan suara rakyat telah menentukan arah kepemimpinan baru, harapan pun menggantung di pundak pemimpin terpilih. Rabu (23/7/2025)
Namun di balik euforia kemenangan, ada kenyataan yang tak bisa diabaikan, para “pemain lama” diduga mulai bergerak.
Fenomena ini bukan hal baru. Setiap kali terjadi pergantian kekuasaan, selalu muncul manuver dari pejabat dan tokoh lama yang berusaha mempertahankan posisinya.
Mereka sadar bahwa perubahan struktur pemerintahan bisa mengancam eksistensi dan kenyamanan yang selama ini mereka nikmati.
Caranya pun beragam, ada yang mendekat secara halus dengan tokoh-tokoh kunci di lingkaran kekuasaan baru, dan ada yang tampil seolah paling loyal dan siap bekerja, meski rekam jejaknya tak mencerminkan hal itu.
Bahkan, tidak sedikit yang mengambil jalur lobi politik yang diduga melibatkan praktik transaksional.
Inilah wajah kelam birokrasi kita, kekuasaan masih diperlakukan sebagai alat negosiasi, bukan amanah yang harus dijalankan dengan profesionalisme dan integritas.
Seolah-olah jabatan bisa dibeli atau dipertahankan bukan karena kinerja, tapi karena kedekatan dan uang pelicin.
Padahal, salah satu harapan besar dari pemimpin baru adalah terwujudnya reformasi birokrasi. Bukan hanya sekadar mengganti pejabat, tapi membangun sistem yang meritokratis, bersih, dan berpihak pada pelayanan publik.
Jika sejak awal ruang transisi ini sudah dipenuhi intrik dan kompromi kepentingan, maka mimpi itu nyaris mustahil terwujud.
Situasi ini menempatkan kepala daerah terpilih dalam posisi krusial. Ia bisa memilih bersikap tegas dan memutus mata rantai warisan politik transaksional, atau ikut hanyut dalam arus yang menyesatkan.
Keberanian untuk merombak struktur birokrasi, meski berisiko menimbulkan resistensi adalah harga yang harus dibayar demi perubahan nyata.
Kita tidak menutup mata bahwa ada pejabat lama yang kompeten dan layak dipertahankan. Namun keputusan itu harus berbasis pada evaluasi objektif, bukan karena tekanan atau deal politik. Jika tidak, publik hanya akan menyaksikan pergantian wajah tanpa perubahan esensi.
Masyarakat tentu berharap, pemimpin baru tidak terjebak pada romantisme dukungan masa kampanye.
Yang dibutuhkan kini bukan loyalitas semu, tetapi kapasitas dan integritas. Jika perubahan hanya berhenti pada permukaan, maka lima tahun ke depan akan diisi oleh stagnasi dan kekecewaan.
Tentu saja, tanggung jawab tidak hanya di pundak kepala daerah. Masyarakat sipil, media, akademisi, dan lembaga pengawas harus terus mengawal.
Jangan beri ruang pada praktik “cari muka” dan politik uang yang merusak tatanan pemerintahan.
Reformasi birokrasi adalah ujian pertama dari keberpihakan kepala daerah kepada rakyat.
Apakah ia berani memilih jalan sulit namun benar, atau justru tunduk pada tekanan kelompok lama yang tak ingin kehilangan panggung.
Pemimpin daerah hari ini butuh keberanian. Keberanian untuk membongkar kenyamanan semu dan membangun tata kelola pemerintahan yang benar-benar melayani.
Dan itu hanya bisa dimulai dengan memutus warisan politik transaksional, sebelum semuanya terlambat.
Dikutip dari seorang Pemerhati Politik dan Sosial Tanggamus. (*)