INDPORTAL.COM,TGR – Seorang wartawan online dari Media Patroli Indonesia, Hiskia Bangun, diduga mengalami intimidasi oleh pihak sebuah perusahaan yang bergerak di bidang ekspor – impor, Sabtu (16/8/2025)
Perusahaan tersebut beralamat di Jalan Imam Bonjol, Gang Cemara III No. 38 RT 003/001, Kelurahan Karawaci, Kecamatan Karawaci, Kota Tangerang, Banten, di kawasan pergudangan.
Kejadian berlangsung pada Jumat, 15 Agustus 2025, sekitar pukul 17.00 WIB, ketika Hiskia mendampingi anggota Lembaga Investigasi Negara (LIN) yang akrab dipanggil Ray untuk mengonfirmasi laporan dugaan pelanggaran izin ekspor–impor dan ketenagakerjaan.
Namun, saat upaya konfirmasi dilakukan, pihak perusahaan justru melakukan penolakan keras disertai intimidasi. “Kami sempat mendapat ancaman yang bisa membahayakan nyawa kami. Saya juga sempat merekam aksi intimidasi yang dilakukan oleh karyawan,”Ungkap Hiskia.
Dalam kericuhan tersebut, Kartu Tanda Anggota (KTA) pers milik Hiskia sempat dibanting ke tanah. Bahkan, beberapa pekerja melontarkan ucapan yang merendahkan profesi jurnalis.
“Polisi saja tidak berani datang ke sini,”Ujar salah seorang pekerja.
Ucapan lain yang juga terdengar di antaranya, “Media maunya minta uang masyarakat saja, lebih baik cari uang halal”, serta ejekan, “Jangan jadi media bang, cari duitnya nggak halal. Saya bisa cetak 1000 KTA kalau abang mau.”
Melihat kondisi semakin tidak kondusif, Hiskia dan rekan dari LIN akhirnya memilih mundur dan berpamitan pulang demi menjaga keselamatan diri.
Peristiwa ini menjadi catatan serius bagi kebebasan pers di Indonesia. Kebebasan pers merupakan pilar penting demokrasi, di mana jurnalis memiliki peran menyampaikan informasi yang akurat dan berimbang kepada publik.
“Intimidasi terhadap jurnalis bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga mengancam hak publik untuk mendapatkan informasi,”Tegas Hiskia.
Tindakan menghalangi kerja pers dengan cara intimidasi jelas melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menjamin kebebasan pers di Indonesia.
Selain itu, tindakan semacam ini juga berpotensi menjadi bentuk kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi. (Red)