IndPortal, Tangerang – Di antara persoalan fikih yang dibahas dalam Munas Tarjih XXXI di Universitas Muhammadiyah Gresik pada November-Desember 2020 lalu adalah Fikih Zakat Kontemporer.
Dalam sub pembahasannya terdapat zakat fitri atau yang dikenal masyarakat dengan sebutan salah kaprah zakat fitrah. Berikut ini adalah konsep zakat fitri yang dirumuskan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam forum Munas tersebut.
Pengertian Zakat Fitri
Zakāt al-fiṭr atau sadaqat al-fiṭr, disebut zakat fitri karena merupakan zakat yang wajib dibayarkan karena berbuka (al-fiṭr) untuk mengakhiri puasa Ramaḍhān, sebagaimana hari raya yang menandai berakhirnya puasa Ramaḍhān disebut Idul Fitri.
Disebut juga aaadaqat al-fiṭr karena perkataan ṣadaqah dalam terminologi syariah selalu dipakai dalam pengertian zakat.
Dalil Wajibnya Membayar Zakat Fitri
Zakat fitri diwajibkan pada tahun ke-2 Hijriah, yaitu pada tahun diwajibkannya puasa Ramaḍhān, dan sebelum diwajibkannya zakat māl. Zakat fitri wajib dilaksanakan berdasarkan dalil-dalil berikut.
a. Hadis Ibnu Umar RA:
. فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
Dari Ibnu Umar (diriwayatkan) ia berkata: “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitri satu ṣā’ dari kurma atau ṣā’ dari gandum bagi setiap hamba sahaya (budak) maupun yang merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar dari kaum Muslimin. Beliau memerintahkan agar menunaikannya sebelum orang-orang berangkat untuk shalat (‘Īd).” (HR al-Bukhārī).
b. Hadis Abdullāh bin Umar RA:
عَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ اَلْفِطْرِ, صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ: عَلَى اَلْعَبْدِ وَالْحُرِّ, وَالذَّكَرِ, وَالْأُنْثَى, وَالصَّغِيرِ, وَالْكَبِيرِ, مِنَ اَلْمُسْلِمِينَ, وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ اَلنَّاسِ إِلَى اَلصَّلَاةِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْه (
Dari Abdullāh bin Umar (diriwayatkan), bahwa Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitri di bulan Ramaḍhān atas setiap jiwa dari kaum Muslimin, baik orang merdeka, hamba sahaya, laki-laki atau pun perempuan, anak kecil maupun dewasa, yaitu berupa satu ṣā’ kurma atau satu ṣā’ gandum. (HR Muslim).
Kedua hadis ini dengan tegas menyatakan bahwa zakat fitri adalah wajib atas setiap orang Muslim besar atau kecil, laki-laki maupun wanita.
Harta yang Dibayarkan untuk Zakat dan Kadarnya
a. Makanan Pokok dan Kadarnya
Hadis riwayat al-Bukhārī dan Muslim menjelaskan.
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ: – كُنَّا نُعْطِيهَا فِي زَمَانِ اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – صَاعًا مِنْ طَعَامٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ. – مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Dari Abū Sa’īd al-Khudrī RA (diriwayatkan) ia berkata: “Kami mengeluarkan zakat fitri satu ṣā’ dari makanan atau satu ṣā’ dari gandum atau satu ṣā’ dari kurma atau satu ṣā’ dari keju (mentega) atau satu ṣā dari kismis (anggur kering).” (HR al-Bukhārī dan Muslim).
Hadis di atas menjelaskan bahwa kadar zakat fitri yang harus dikeluarkan untuk tiap-tiap kepala adalah minimal satu ṣā dari makanan pokok. Seperti; gandum, kurma, atau dari kismis (anggur kering) atau uang seharga makanan tersebut.
Satu ṣā’ sama dengan 1/6 liter Mesir, sama dengan 2.167 gram (hal itu berdasarkan timbangan dengan gandum). Apabila di suatu daerah makanan pokoknya lebih berat dari pada gandum, seperti beras, misalnya maka wajib untuk menambah dari ukuran tersebut, maka untuk kehati-hatian digenapkan menjadi ± 2,5 kg.
b. Harga Makanan Pokok
Dari hadis pada sub 2.b. dan pada sub 3.a. dapat dipahami bahwa kadar zakat fitri yang harus dikeluarkan untuk tiap-tiap orang adalah satu ṣā’ (± 2,5 kg) dari bahan makanan pokok.
Contoh: harga beras di pasar rata-rata Rp 11.500 per kg. Maka zakat fitri yang harus dibayar per orang = 2,5 kg x Rp. 11.500 = Rp 28.750. Apabila dalam sebuah rumah tangga jumlah nya enam orang, maka zakat fitri yang harus dibayar adalah 6 x Rp 28750 = Rp 172.500.
Orang yang Wajib Mengeluarkan Zakat Fitri
Wajib membayar zakat fitri bagi orang yang mampu membayarnya atau, menurut ungkapan Putusan Tarjih, “yang berkelapangan rizki”, baik laki-laki, perempuan, dewasa anak-anak. dasarnya adalah pertama firman Allah SWT:
يُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (at-Talaq 7).
Ayat ini merupakan perintah umum kepada orang yang berkemampuan untuk mengeluarkan sebagian dari hartanya, termasuk mengeluarkan zakat. Dari ayat ini dipahami bahwa zakat fitri diwajibkan atas orang yang berkelapangan rezeki (mampu).
Orang yang berkelapangan dalam mengeluarkan zakat fitri adalah orang yang pada malam Idul Fitri memiliki kelebihan dari kebutuhannya dan kebutuhan orang yang ditanggungnya.
Semua mereka yang tidak mempunyai nafkah sendiri melainkan ditanggung oleh orang lain seperti anak kecil yang ditanggung ayahnya, orang lanjut usia yang ditanggung oleh kerabatnya atau wanita yang ditanggung oleh suaminya, zakat fitrinya dibayar oleh orang yang menanggung nafkahnya.
Anak yatim piatu dan anak miskin di panti asuhan tidak memiliki harta kekayaan dan mereka di tanggung nafkahnya oleh panti asuhan. Panti asuhan sendiri tidak memiliki kekayaan sendiri, karena biaya yang diperolehnya hanyalah sumbangan dari masyarakat, bahkan tidak jarang pula panti asuhan merasa cukup berat menanggung pembiayaan anak asuhnya. Atas dasar itu maka anak-anak yatim piatu atau miskin di panti asuhan itu tidak wajib dibayarkan zakat fitrinya.
Orang yang Berhak Menerima Zakat Fitri
Al-Quran Surat at-Taubah 60 merupakan dalil tentang delapan aṣnāf yang berhak menerima zakat māl. Berbeda dengan zakat māl, zakat fitri hanya disalurkan kepada fakir dan miskin.
Dasar penetapan bahwa zakat fitri hanya disalurkan kepada fakir miskin saja adalah hadis Ibnu Abbās yang menyatakan bahwa zakat fitri itu diwajibkan selain sebagai pencucian terhadap orang yang berpuasa juga sebagai santunan terhadap orang miskin. Hadis yang dimaksud adalah:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ
Dari Ibnu Abbās (diriwayatkan), ia berkata: Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari perkataan yang sia-ia dan kotor serta untuk memberi makan kepada orang-orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat ‘Īd, maka itu adalah zakat diterima, dan barang siapa yang menunaikannya sesudah shalat ‘Īd, maka itu hanyalah sekedar sedekah. (HR Abū Dāwud, Ibnu Mājah dan al-Ḥākim).
Waktu Pelaksanaan Zakat Fitri
a. Waktu Pembayaran atau Penarikan
Zakat fitri mulai dikeluarkan (dibayarkan) pada bulan Ramaḍhān dan selambat-lambatnya sebelum shalat Idul Fitri tanggal 1 Syawwāl. Sebagaimana disebutkan dalam hadis Abdullāh Ibnu Umar:
عَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: – فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ اَلْفِطْرِ, صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ: عَلَى اَلْعَبْدِ وَالْحُرِّ, وَالذَّكَرِ, وَالْأُنْثَى, وَالصَّغِيرِ, وَالْكَبِيرِ, مِنَ اَلْمُسْلِمِينَ, وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ اَلنَّاسِ إِلَى اَلصَّلَاةِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi hamba dan yang merdeka, bagi laki-laki dan perempuan, bagi anak-anak dan orang dewasa dari kaum Muslimin. Beliau memerintahkan agar zakat tersebut ditunaikan sebelum manusia berangkat menuju shalat ‘Id.” (Muttafaqun ‘alaih: Bukhari No 1503 dan Muslim No 984).
Konsekuensi penegasan bahwa zakat fitri wajib dikeluarkan pada saat terbenam matahari hari terakhir Ramaḍhān adalah bahwa orang Muslim yang meninggal sebelum saat tersebut tidak wajib membayar zakat fitri karena ketika ia meninggal zakat fitri belum jatuh tempo.
Begitu juga anak yang lahir sesudah terbenam matahari tidak wajib dibayarkan zakat fitri karena ia lahir setelah zakat fitri jatuh tempo. Sebaliknya orang yang meninggal sesudah terbenamnya matahari akhir Ramaḍhān dan orang masuk Islam atau anak yang lahir sebelum terbenamnya matahari hari terakhir Ramaḍhān wajib dikeluarkan zakat fitrinya.
Pembayaran zakat fitri boleh dimajukan sebelum terbenamnya matahari akhir Ramaḍhān. Dasarnya adalah hadis Nabi SAW riwayat Abū Dāwud, Ibnu Mājah, dan al-Ḥākim dari Ibnu Abbās yang terdapat pada butir nomor 5 di atas yang menyatakan bahwa zakat fitri dikeluarkan antara lain dengan maksud menyantuni orang miskin. Selain itu didasarkan pula kepada hadis yang membolehkan penyegeraan pembayaran zakat fitri secara umum, yaitu:
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ – رضى الله عنهما – يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا ، وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
“Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma biasanya menyerahkan zakat fithri kepada yang berhak menerima satu atau dua hari sebelumnya.” (HR Bukhari No 1511).
عن علي بن أبي طالب – رضي الله عنه -: «أن العباس سأل رسول الله – صلى الله عليه وسلم- في تعجيل زكاته، قبل أن يحول الحول، مسارعة إلى الخير، فأذن له في ذلك» . أخرجه أبو داود، والترمذي.
Dari Alī (diriwayatkan) bahwa al-Abbās bertanya kepada Nabi SAW mengenai menyegerakan zakat sebelum wajib atas mereka? Kemudian beliau memberikan rukhṣah baginya dalam hal tersebut. (HR lima ahli hadis selain al-Nasā‟ī).
Pemberian waktu yang lebih panjang dalam pembayaran zakat fitri sebelum waktu akhir Ramaḍhān akan lebih memudahkan bagi masyarakat. Terutama apabila pengumpulan zakat fitri itu dilakukan oleh sebuah panitia yang mencakup wilayah pengumpulan yang luas sehingga pengumpulannya dan pendistribusiannya memerlukan waktu yang lama.
Adapun mengenai batas akhir pembayaran zakat fitri itu adalah sebelum mengerjakan salat Īd, sesuai dengan ketentuan hadis yang dikutip di atas. Apabila zakat fitri dikeluarkan sesudah salat Īd, maka pembayaran itu tidak dipandang sebagai zakat fitri, melainkan hanya sebagai sedekah biasa, dan orang yang melakukan demikian belum menunaikan kewajiban zakat fitrinya dan dipandang sebagai orang yang berdosa.
b. Waktu Pembagian
Dari hadis Ibnu Abbās yang terdapat pada butir nomor 5 di atas dapat diperoleh kejelasan bahwa zakat fitri dipandang sah apabila telah diberikan kepada fakir miskin sebelum shalat Idul Fitri dilakukan.
Namun bisa saja terjadi, setelah zakat fitri disalurkan kepada semua fakir miskin di daerah penarikan, ternyata masih terdapat kelebihan. Tetapi untuk menyalurkan kelebihan zakat fitri tersebut kepada fakir miskin di daerah lain sebelum dilaksanakan shalat Idul Fitri sering kali menemui kesulitan.
Misalnya karena sangat terbatasnya waktu untuk menyalurkan, jarak yang jauh sementara sarana angkutan (transportasi) tidak tersedia secara cukup dan lain-lain kesulitan yang dihadapi, mengakibatkan panitia tidak mampu menyampaikan zakat fitri kepada fakir miskin di daerah lain tersebut sebelum sahalat Idul Fitri.
Barulah setelah shalat Idul Fitri dilaksanakan, zakat fitri dapat dibagikan. Dalam melaksanakan syariat, Allah tidak menghendaki hamba-hamba-Nya terjebak dalam kesulitan yang di luar batas kemampuannya. Allah SWT berfirman:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (al-Baqarah 185).
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (al-Baqarah 286).
Demikian pula dalam kaidah fikih disebutkan, almasyaqqatu tajlibu attaysir yaitu suatu kesulitan menarik adanya kemudahan.
Atas dasar dalil-dalil dan kaidah di atas, jika tertundanya pembagian zakat fitri kepada fakir miskin sampai dengan dilaksanakan shalat Idul Fitri disebabkan oleh kesulitan yang tidak mampu ditanggulangi panitiam maka zakat fitri yang dikeluarkan oleh orang yang wajib mengeluarkan zakat fitri dan diserahkan kepada panitia sebelum shalat Idul Fitri dilaksanakan maka zakat tersebut sah.
Kiranya dapat disampaikan himbauan agar para wajib zakat fitri untuk bisa menyegerakan mengeluarkan zakat fitri atau tidak terlalu dekat dengan hari raya Idul Fitri, sehingga memberi waktu yang cukup kepada panitia untuk menyampaikan harta zakat fitri tersebut sebelum shalat Idul Fitri.
Pembaruan Distribusi Zakat Fitri
Hadits-hadits Nabi SAW menjelaskan bahwa terdapat beberapa fungsi dan tujuan dari zakat fitri, yaitu;
a. Zakat fitri itu adalah hak bagi fakir miskin dan sebagai makanan bagi mereka. Hal ini dipahami dari kalimat ṭu’mah li al-masākin.
b. Tujuan dari zakat fitri itu adalah membantu fakir miskin di hari raya agar ikut bergembira sebagaimana saudara-saudaranya, dapat membersihkan diri si kaya dari sifat kikir dan akhlak tercela, serta dapat mendidik diri bersifat mulia dan pemurah.
c. Fungsi zakat itu sesungguhnya adalah untuk dapat mengubah keadaan si mustahik menjadi muzaki, dan bukan hanya memberi makan mereka untuk saat hari raya saja. Tetapi juga untuk hari-hari berikutnya, dapat menjamin kehidupan sosial bagi masyarakat dan si miskin dapat tambahan jaminan kehidupannya karena zakat fitri itu adalah haknya dan akan dapat menambah hubungan yang erat dengan si ‘punya’.
Untuk tercapainya tujuan, fungsi, dan hikmah tersebut, perlu adanya peningkatan dalam pengelolaan zakat fitri tersebut, seperti dengan cara mengembangkan dan memodalkan zakat fitri dan pembaruan dalam pendistribusiannya. Dalil yang dijadikan sebagai dasar dalam pendistibusian zakat fitri adalah;
a. H.R. Abū Dāwud, Ibnu Mājah dan al-Ḥākim
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ
Dari Ibnu Abbās (diriwayatkan), ia berkata; Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan orang-orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya sedekah diantara berbagai sedekah.
(HR Abū Dāwud, Ibnu Mājah dan al-Ḥākim, dengan menyatakan hadis ini sahih menurut kriteria al-Bukhārī, dan al-Dāruquṭnī mengatakan: tidak terdapat seorangpun di antara perawi-perawi hadis ini yang cacat riwayat).
b. Hadis dari Ibnu Umar
عن بن عمر قال فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر وقال أغنوهم في هذا اليوم
“Dari Ibnu Umar (diriwayatkan), ia bekata: Rasulullah SAW mewajibkan zakat, dan ia berkata, ‘Cukupilah mereka (daripada meminta-minta) pada hari ini (hari raya Idul Fitri).’” (HR al-Dāruquṭnī).
Para ulama berbeda pendapat tentang kapan diwajibkannya mengeluarkan dan mendistribusikan zakat fitri. Perbedaan tersebut terbagi dua pendapat:
Pertama, Mālikiyyah, Syāfi’iyyah, dan Ḥanābilah berpendapat bahwa waktu wajib mengeluarkan zakat fitri merupakan kewajiban yang terbatas yaitu sejak terbenamnya matahari pada akhir bulan Ramaḍhān sampai sebelum dilaksanakannnya shalat Īd.
Mereka berdalil pada hadis Nabi:
عَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: – فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ اَلْفِطْرِ, صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ: عَلَى اَلْعَبْدِ وَالْحُرِّ, وَالذَّكَرِ, وَالْأُنْثَى, وَالصَّغِيرِ, وَالْكَبِيرِ, مِنَ اَلْمُسْلِمِينَ, وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ اَلنَّاسِ إِلَى اَلصَّلَاةِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi hamba dan yang merdeka, bagi laki-laki dan perempuan, bagi anak-anak dan orang dewasa dari kaum muslimin. Beliau memerintahkan agar zakat tersebut ditunaikan sebelum manusia berangkat menuju shalat ‘ied.” Muttafaqun ‘alaih. (HR Bukhari no. 1503 dan Muslim no.
984).
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ
Dari Ibnu Abbās (diriwayatkan), ia berkata: Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan orang-orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya sedekah diantara berbagai sedekah. (HR Abū Dāwud, Ibnu Mājah dan al-Ḥākim).
Kedua, Ḥanafiyyah berpendapat bahwa waktu diwajibkan mengeluarkan dan mendistribusikan zakat fitri merupakan wajib muwassa’ (wajib mutlak). Yaitu kewajiban yang tidak dibatasi waktunya, kapan pun seorang mukallaf mengeluarkan zakat fitri maka berarti ia telah melaksanakannya, meskpiun yang sangat dianjurkan mengeluarkan sampai sebelum ia pergi ke tempat pelaksanaan shalat Īd.
Mereka berdalil pada hadis riwayat al-Ḥākim dan al-Dāruquṭnī:
عن بن عمر قال فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر وقال أغنوهم في هذا اليوم
“Dari Ibnu Umar (diriwayatkan), ia bekata: Rasulullah SAW mewajibkan zakat, dan ia berkata ”Cukupilah mereka (daripada meminta-minta) pada hari ini (hari raya Idul Fitri).” (HR al-Dāruquṭnī).
Sabda Nabi ini menunjukkan bahwa zakat fitri diberikan kepada fakir miskin pada dasarnya untuk membuat mereka berkecukupan pada dul Fitri sehingga tidak keliling meminta-minta dari rumah ke rumah. Membuat mereka berkecukupan, utamanya tidak hanya pada hari raya, tapi sepanjang tahun atau sepanjang hidupnya.
Pembagian zakat fitri sepanjang tahun atau bahkan seumur hidup, menurut Mażhab Ḥanafī, tidak sekedar ditunjukkan oleh sabda (sunnah qauliyyah) tersebut, tapi menjadi praktik Nabi (sunnah fi’liyyah) dalam pembayaran zakat.
Dalam pandangan mereka (Mażhab Ḥanafī), membayar zakat fitri sebelum shalat Īd, bukan merupakan syarat sah, tapi hanya mustaḥab (anjuran). Anjuran ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa fakir miskin terpenuhi kebutuhan hidupnya pada hari raya.
Dari kedua pendapat tersebut, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah cenderung memilih pandangan Ḥanafiyyah. Yaitu pembagian zakat fitri dapat dilakukan sepanjang tahun atau bahkan seumur hidup.
Dengan argumen yang disampaikan di atas dan dengan pertimbangan pada salah satu prinsip zakat, yaitu prinsip pemberdayaan yaitu prinsip terkait pengelolaan dan pendayagunaan zakat, yang harus mampu meningkatkan kesejahteraan. Baik dalam membaikinya kualitas konsumsi, maupun meningkatnya kehidupan spiritual di mana mustahik dapat membebaskan diri dari penerima menjadi pemberi zakat.
Dengan demikian pengelola zakat tidak hanya sekedar mendistribusikannya, tetapi harus mampu menjamin dan memantau serta memberi arahan bagaimana zakat menjadi efektif dan berhasil guna. Wallahu a’lam (*Redaksi)