Ketika Desa Menolak Terbuka: UU KIP, UU Pers, dan UU Tipikor Tak Bertaji

INDPORTAL.COM, LAMPUNG – Sengketa informasi publik antara DPD Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI) Provinsi Lampung dengan PPID Desa Sabah Balau, Kecamatan Tanjung Bintang, menjadi preseden penting soal masih jauhnya praktik keterbukaan di tingkat desa. Sabtu (2/8/2025)

Permintaan salinan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (RAPBDes) yang seharusnya menjadi dokumen publik, justru ditolak tanpa dasar hukum yang kuat.

Kasus ini bukan sekadar soal satu desa yang menolak membuka informasi. Ia mencerminkan kegagalan sistemik dalam implementasi tiga pilar hukum keterbukaan dan akuntabilitas yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Ketiganya adalah undang-undang progresif. Namun dalam praktiknya, hukum-hukum ini menjadi bias, karena pelaksanaannya sangat bergantung pada kehendak oknum pejabat desa dan lemahnya penegakan oleh institusi terkait.

Berita Terbaru  Grand Opening PT. Legal Innovation Solution Indonesia, Di Hadiri Oleh Sejumlah Entrepreneur

PPID desa kerap kali berdalih bahwa dokumen RAPBDes bukan untuk konsumsi publik. Padahal Pasal 11 UU KIP menyebutkan dengan jelas bahwa informasi tentang anggaran publik adalah informasi wajib tersedia setiap saat, dan tidak boleh ditutup tanpa alasan yang sah.

Sementara itu, jurnalis yang mencoba menggali dan mengawasi penggunaan dana desa, justru sering diposisikan sebagai ancaman.

Padahal UU Pers menjamin hak masyarakat untuk tahu dan peran strategis pers sebagai alat kontrol sosial. Penolakan informasi kepada wartawan terlebih jika disertai intimidasi adalah bentuk pengingkaran terhadap kemerdekaan pers.

Lebih jauh lagi, UU Tipikor yang seharusnya menjadi dasar untuk mengusut potensi penyimpangan dana desa, tidak akan bisa bekerja optimal tanpa transparansi informasi publik.

Berita Terbaru  Sekda Bermain HP Saat Paripurna: Pelanggaran Etika Yang Tak Boleh Dibiarkan

Laporan korupsi butuh data, dan data anggaran seperti RAPBDes adalah pintu awal. Jika akses informasi ditutup, maka korupsi pun tumbuh dalam gelap.

Sengketa di Sabah Balau menunjukkan bahwa problem kita bukan pada kurangnya regulasi, tapi pada ketidakseriusan aparat desa dalam menaatinya.

Di sisi lain, lemahnya keberpihakan Komisi Informasi dan tidak adanya sanksi tegas terhadap pejabat yang menutup-nutupi informasi membuat UU KIP seperti harimau ompong.

Sudah saatnya kita menyadari bahwa transparansi bukan pilihan, tapi kewajiban. Penegak hukum, pengawas informasi, dan media harus bergandengan tangan memastikan hak publik untuk tahu tidak terus-menerus dirampas dengan dalih birokrasi atau “aturan internal”.

Karena ketika desa menutup-nutupi RAPBDes, sesungguhnya yang mereka tutupi bukan hanya angka tapi potensi pelanggaran yang mungkin sudah berlangsung bertahun-tahun.

Kutipan: Media Sinar Lampung. (Red)

Berita Terbaru