INDPORTAL.COM,TGM – Di tengah perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80, gegap gempita karnaval, lomba rakyat, hingga upacara bendera menghiasi berbagai pelosok negeri. Sabtu (16/8/2025)
Namun di balik itu semua, ada wajah lain dari kemerdekaan yang sering kali luput dari sorotan, wajah renta seorang Yahya (77), warga Pekon Badak, Kecamatan Limau, Kabupaten Tanggamus, yang hidup dalam rumah reyot nyaris roboh.
Pada usia senja, seharusnya Yahya menikmati masa tenang, ditemani kesejahteraan minimal yang layak.
Namun kenyataannya jauh panggang dari api. Ia berteduh di bangunan rapuh, dengan berdinding kayu dan beralaskan tanah.
Jika kita menengok konstitusi, jelas disebutkan dalam Pasal 34 UUD 1945 bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”
Amanat ini diperkuat dengan UU Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, yang menegaskan kewajiban negara dalam menjamin setiap warga negara hidup layak, terbebas dari kemiskinan ekstrem, dan mendapat perlindungan sosial.
Tidak berhenti di sana, UU Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin mengatur secara jelas tentang hak fakir miskin untuk mendapatkan:
1. Pangan, sandang, dan tempat tinggal.
2. Pelayanan kesehatan dan pendidikan.
3. Kesempatan kerja serta berusaha.
Jika kita sandingkan ketentuan undang-undang dengan realitas kehidupan Yahya, jelas terlihat adanya jurang yang dalam.
Negara, dalam konteks pemerintah pusat maupun daerah, seakan hadir dalam teks, namun absen dalam praktik.
Pertanyaan mendasar muncul, Merdeka bagi siapa? Bagi mereka yang hidup berkecukupan, kemerdekaan dirayakan dengan pesta rakyat.
Namun bagi Yahya, kemerdekaan tak lebih dari ironi, karena setiap hari ia masih diperbudak oleh kemiskinan struktural.
Merdeka mestinya bukan sekadar upacara dan lomba, melainkan terwujud dalam bentuk keadilan sosial yang nyata. Bagaimana mungkin bangsa ini disebut “merdeka” jika warganya masih dibiarkan tinggal di gubuk reyot, tanpa kepastian sandang, pangan, dan papan?
Pemerintah daerah, dalam hal ini Pemkab Tanggamus, tidak bisa menutup mata. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa urusan sosial, termasuk penanganan fakir miskin, merupakan kewenangan wajib pemerintah daerah. Artinya, tidak ada alasan untuk membiarkan warga seperti Yahya hidup tanpa intervensi nyata.
Di tengah gemuruh slogan pembangunan, kita butuh aksi yang konkret. Bantuan sosial bukan sekadar seremonial saat momentum politik, melainkan hak konstitusional yang harus dipenuhi oleh negara.
Yahya dan jutaan warga lain yang hidup dalam situasi serupa, adalah wajah asli bangsa yang menuntut kemerdekaan yang sejati.
Kemerdekaan tidak hanya tentang lepas dari penjajahan asing, tetapi juga membebaskan rakyat dari belenggu kemiskinan, ketidakadilan, dan keterlantaran.
Yahya, dengan segala keterbatasannya, adalah cermin kegagalan kita dalam mewujudkan sila kelima Pancasila: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Selama masih ada Yahya-Yahya lain di pelosok negeri, maka kemerdekaan bangsa ini sejatinya masih tertunda. (Red)