INDPORTAL.COM,TGM — Sekitar 40 hektare lahan persawahan milik warga Pekon Badak, Kecamatan Limau, Kabupaten Tanggamus, Lampung, menghadapi krisis ketersediaan air irigasi. Kondisi ini membuat petani tidak dapat menggarap sawah secara serentak setiap musim tanam dan terpaksa menerapkan sistem pengairan bergilir, Minggu (21/12/2025)
Sumber air utama persawahan warga berasal dari aliran sungai yang berhulu di kawasan Gunung Repong Kuwau dan Umbul Baru. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, debit air sungai terus menurun hingga tidak lagi mencukupi kebutuhan pertanian.
Warga menyebut, mengeringnya mata air di bagian hulu sungai dapat dikenali dari perubahan pola aliran air. Saat hujan deras, sungai sempat meluap, tetapi airnya hanya bertahan singkat dan surut dalam waktu sekitar satu jam.
Pola banjir sesaat yang cepat surut tersebut menunjukkan menurunnya daya serap dan daya simpan air di kawasan hulu. Kondisi ini mengindikasikan kerusakan tutupan lahan, di mana tanah dan vegetasi tidak lagi mampu menahan air hujan untuk disimpan sebagai cadangan air tanah yang menopang mata air.
Selain dugaan penggundulan hutan, warga juga menyoroti aktivitas pengambilan batu di sepanjang aliran sungai Hulu Way oleh sejumlah oknum masyarakat. Pengambilan material sungai tersebut, baik untuk kebutuhan pribadi maupun proyek, dinilai mempercepat degradasi ekosistem sungai dan memperburuk penurunan debit air.
Situasi ini menempatkan pemerintah daerah pada posisi strategis sekaligus krusial. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pemerintah daerah berkewajiban melakukan pencegahan, pengendalian, serta penindakan terhadap aktivitas yang menyebabkan kerusakan lingkungan.
Sementara itu, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air menegaskan tanggung jawab negara termasuk pemerintah daerah dalam menjamin keberlanjutan dan ketersediaan air bagi kebutuhan dasar masyarakat, khususnya sektor pertanian.
Hingga kini, warga Pekon Badak menilai langkah konkret pemerintah daerah belum terlihat optimal, baik dalam penertiban aktivitas perusakan lingkungan di hulu sungai maupun dalam penyediaan infrastruktur pengelolaan air.
Warga berharap pemerintah kabupaten segera mengambil kebijakan nyata, seperti penataan kawasan hulu sungai, penegakan aturan terhadap pengambilan material sungai, serta pembangunan bendungan atau kolam penampungan air sebagai solusi jangka menengah dan panjang.
Jika kondisi ini dibiarkan berlarut, krisis air dikhawatirkan tidak hanya menurunkan produktivitas pertanian, tetapi juga mengancam keberlanjutan mata pencaharian petani dan ketahanan pangan di tingkat lokal.
