Tambak Udang Dan Krisis Ekologi Pesisir: Ketika Keuntungan Mengalahkan Keseimbangan Alam

INDPORTAL.COM,TGM – Polemik pencemaran lingkungan akibat aktivitas tambak udang di Pekon Tegi Neneng, Kecamatan Limau, Kabupaten Tanggamus, adalah cermin buram dari bagaimana pembangunan ekonomi sering mengabaikan keseimbangan ekologis, Sabtu (8/11/2025)

Meski pihak perusahaan tambak udang milik Shenny Syarief telah menyepakati pembangunan sumur bor sebagai solusi atas air sumur warga yang tercemar, langkah itu sejatinya hanya menambal luka sementara bukan menyembuhkan penyakit yang sesungguhnya.

Membangun sumur bor memang meredakan keluhan jangka pendek warga Dusun Kuala Jaya, namun tidak menyentuh akar masalah. Kerusakan lingkungan bersifat sistemik dan jangka panjang.

Intrusi air laut, perubahan komposisi tanah, serta pencemaran mikroorganisme alami akan terus berlanjut selama limbah tambak tidak dikelola secara benar dan izin lingkungan tidak diaudit secara terbuka.

Sebagaimana disampaikan oleh praktisi hukum asal Pekon Banjar Manis Kecamatan Cukuh Balak, Muhammad Ali, S.H.M.H., bahwa pencemaran semacam ini adalah “bom waktu ekologi” yang akan meledak pelan-pelan.

Ketika air tawar berubah payau, tanah menjadi asin, dan ekosistem pesisir mati perlahan, maka bukan hanya sumber air yang hilang, tetapi juga masa depan masyarakat pesisir itu sendiri.

Masalah utama bukan sekadar pada perusahaan yang abai terhadap standar pengelolaan limbah, melainkan lemahnya fungsi pengawasan negara.

Berita Terbaru  Dalam Upaya Percepatan Penurunan Stunting, Korluh KB Kecamatan Limau Salurkan Bantuan PMT.

Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Tanggamus seharusnya menjadi benteng terakhir dalam memastikan bahwa setiap izin tambak udang didukung dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang akurat, transparan, dan partisipatif.

Namun hingga kini, dokumen izin dan hasil kajian lingkungan tambak tersebut tidak pernah dibuka ke publik. Sikap tertutup ini menimbulkan kecurigaan bahwa proses perizinan mungkin tidak melalui mekanisme yang benar.

Jika benar demikian, maka pemerintah daerah turut bertanggung jawab atas kerusakan ekologis yang terjadi. Keputusan yang diambil tanpa kajian ilmiah yang matang sama saja dengan menandatangani surat izin untuk kehancuran alam.

Tambak udang memang menjanjikan keuntungan cepat. Namun keuntungan jangka pendek itu hampir selalu dibayar mahal dengan kerusakan ekosistem jangka panjang.

Ketika air tanah menjadi asin, lahan pertanian gagal panen, dan nelayan kehilangan hasil tangkapan karena pencemaran laut, maka yang tersisa hanyalah masyarakat lokal yang menanggung beban.

Fenomena ini memperlihatkan wajah asli dari “ekonomi ekstraktif” model pembangunan yang mengeksploitasi sumber daya tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan.

Dalam konteks Tanggamus, pemerintah daerah seharusnya sudah belajar dari berbagai daerah pesisir lain di Indonesia, seperti Lampung Timur, Indramayu, dan Pangkep, yang kini menanggung kerugian ekologis permanen akibat ekspansi tambak tanpa kontrol.

Berita Terbaru  Peristiwa Kematian Tahanan Rutan Kota Agung Yang Saat Ini Sedang Viral, Picu Reaksi Keras Dari Nitizen.

Pemerintah wajib menjamin hak lingkungan hidup yang sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 28H UUD 1945 dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kegagalan negara dalam melindungi masyarakat dari pencemaran berarti mengingkari amanat konstitusi.

Aliansi Tanggamus Memanggil (ATM) telah menyerukan langkah konkret yakni audit izin lingkungan, pengelolaan limbah berstandar, serta keterbukaan informasi publik. Itu bukan tuntutan emosional, tetapi panggilan moral dan ilmiah agar pemerintah tidak membiarkan alam dikorbankan atas nama investasi.

Air asin yang kini meresap di sumur warga Dusun Kuala Jaya bukan sekadar gejala alam biasa. Ia adalah peringatan dini dari bumi bahwa keseimbangan telah dilanggar.

Bila pemerintah dan perusahaan terus menutup mata, maka dalam hitungan tahun, Limau bisa menjadi contoh tragis tentang bagaimana investasi yang tak ramah lingkungan berubah menjadi bencana ekologis yang diwariskan lintas generasi.

Karena pada akhirnya, kerusakan alam tidak pernah berhenti di satu pekon. Ia menjalar, diam-diam, membawa pesan yang sama: ketika keserakahan mengalahkan kebijaksanaan, maka manusia sendiri yang akan menjadi korban terakhirnya.

Berita Terbaru