Dewas BPJS Kesehatan Ungkap Proyeksi Defisit Rp30 Triliun, Siruaya: JKN Aman Hanya Sampai 2026

INDPORTAL.COM,BALAM – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menghadapi tantangan besar dalam menjaga keberlanjutan dana Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Senin (27/10/2025)

Anggota Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, Siruaya Utamawan, mengungkapkan bahwa defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan berpotensi menembus Rp30 triliun pada 2025 jika tidak ada langkah penyesuaian iuran atau intervensi fiskal dari pemerintah.

“Kondisi dana JKN masih relatif aman hingga pertengahan 2026, tapi kalau iuran tidak disesuaikan, situasinya bisa memburuk,”Ujar Siruaya saat bersilaturahmi dengan DPW Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Provinsi Lampung, Minggu (26/10/2025).

Menurut Siruaya, defisit sudah mulai muncul sejak 2024 karena beban klaim pelayanan kesehatan tumbuh lebih cepat dibandingkan penerimaan iuran.

“Masih tertolong dari pendapatan investasi, jadi akhir 2024 kita masih mencatat surplus sekitar Rp1 triliun. Tapi itu bukan kondisi ideal,”Katanya.

Kenaikan biaya klaim disebut mencapai 9,5% sejak awal 2023, yang menjadi tekanan utama terhadap keseimbangan keuangan JKN. Namun, rencana kenaikan iuran masih tertahan di meja pemerintah.

Berita Terbaru  Nonton Bersama Pentas Musik Tema Djogja Asyik Bersama Polda Kalbar

“Menkeu menilai momentum ekonomi rakyat belum pulih, tapi kebutuhan pendanaan itu nyata,”Ucap Siruaya.

Sebagai alternatif, pemerintah tengah menyiapkan alokasi Rp20 triliun untuk pemutihan tunggakan peserta mandiri. Langkah ini bertujuan mengalihkan peserta menunggak ke segmen Penerima Bantuan Iuran (PBI) atau Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) Pemda.

“Kalau realisasi Rp20 triliun itu berjalan, hampir seluruh tunggakan peserta mandiri bisa ditutup,”Katanya.

Namun, kebijakan itu dinilai sejumlah kalangan berpotensi menjadi program populis menjelang tahun politik, jika tidak diiringi mekanisme pengawasan ketat.

Pemerintah disebut akan menggunakan data desil ekonomi nasional (DTSEN) untuk memastikan sasaran pemutihan sesuai kondisi sosial-ekonomi peserta.

Dalam forum yang sama, Siruaya juga menyoroti pelaksanaan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Menurutnya, kebijakan standarisasi layanan ini penting untuk pemerataan kualitas, namun masih menimbulkan resistensi di kalangan pekerja.

“Pekerja merasa sudah membayar iuran, tapi disamakan dengan yang tidak membayar. Ini bukan hanya teknis pelayanan, tapi soal keadilan sosial,”Tegasnya.

Ia menambahkan, porsi 60% RS pemerintah dan 40% RS swasta dalam KRIS belum mencerminkan kondisi faktual, mengingat tingkat keterisian pasien JKN di banyak daerah sudah tinggi.

Berita Terbaru  Anggota Polsek Bandar Negeri Suoh, Pastikan Suara Gemuruh Di Lokasi Wisata, Berasal Dari Tanah Amblas.

Siruaya juga mengungkap adanya praktik curang di kalangan badan usaha yang melaporkan pekerja terkena PHK sebagai “mengundurkan diri” di sistem e-Dabu (Elektronik Data Badan Usaha).

“BPJS tidak boleh hanya percaya surat tanggung jawab mutlak. Harus ada bukti sah pengunduran diri,”Ujarnya.

Kemudian ia mendorong Direksi BPJS menambah fitur unggah bukti dokumen agar pekerja tidak kehilangan hak layanan kesehatan. KSPI mendukung langkah tersebut dan menekankan pentingnya penegakan Perpres Nomor 59 Tahun 2024 yang menjamin akses layanan bagi pekerja dalam sengketa ketenagakerjaan.

Siruaya menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa keberlangsungan program JKN tidak hanya soal iuran dan klaim, tetapi juga soal keberpihakan negara.

“JKN hanya akan bertahan kalau pemerintah berani berpihak secara fiskal kepada pekerja. Disiplin kepesertaan dan kepatuhan badan usaha tidak cukup tanpa keberanian politik,”Tutupnya. (**)

Berita Terbaru