INDPORTAL.COM,TGM – Polemik pembangunan jalan penghubung Waynipah – Tampang Tua kembali memantik reaksi warga. Kali ini, suara datang dari masyarakat Kecamatan Pematang Sawah yang merasa nama wilayah mereka diseret dalam pemberitaan yang dianggap tidak sesuai fakta, Kamis (16/10/2025)
Warga menilai, narasi yang menyebut proyek jalan tersebut bermasalah karena dianggap berada di kawasan sensitif lingkungan adalah informasi tidak akurat dan berpotensi memojokkan aspirasi masyarakat.
Mereka menegaskan, justru pihak yang menolak pembangunan ini tidak memahami kondisi geografis maupun realitas hidup warga di lapangan.
“Kami tinggal jauh dari kawasan Taman Nasional. Kalau mau ke area itu jaraknya bisa tujuh sampai sepuluh kilometer lebih. Jadi kalau ada yang bilang jalan ini merusak kawasan konservasi, itu jelas tidak benar,”Ujar seorang warga yang ditemui wartawan.
Menurut mereka, yang lebih mengkhawatirkan justru bukan soal lingkungan, melainkan adanya dugaan hambatan dari sejumlah dinas yang cenderung mengulur waktu tanpa memberikan penjelasan yang konkret kepada masyarakat.
Warga juga menegaskan, trase jalan yang dimaksud tidak bersinggungan dengan zona ekonomi eksklusif maupun garis sempadan pantai.
“Kami ini tinggal di daratan jauh. Pantai itu jaraknya bisa lebih dari seratus kilometer. Jadi kenapa isu pesisir ikut dibawa-bawa?”Katanya dengan nada heran.
Bagi masyarakat setempat, pembukaan jalan bukan persoalan proyek, tetapi soal hak atas mobilitas dan akses ekonomi. Mereka mengaku bertahun-tahun harus menempuh jalur licin, curam, dan berbahaya hanya untuk menjual hasil pertanian atau membawa keluarga sakit ke fasilitas kesehatan.
“Kalau ada instansi yang menghalangi, jangan salahkan kalau kami bicara lebih keras. Ini bukan permintaan pribadi, ini suara satu kecamatan,”Tegas warga lainnya.
Warga menyebut, pembangunan ini lahir dari musyawarah pekon dan bukan program titipan pihak luar. Karena itu, mereka meminta pemerintah tidak hanya melihat proyek ini dari meja birokrasi, tetapi datang langsung menyaksikan kondisi jalan yang selama ini mereka lalui.
Sikap warga Pematang Sawah menunjukkan kegelisahan yang nyata, mereka tidak ingin wacana pembangunan di wilayah mereka dikendalikan oleh narasi yang tidak mengacu pada fakta geografis dan kebutuhan sosial.
Ketika data jarak dan batas wilayah jelas, maka yang harus dievaluasi bukan keinginan rakyat, melainkan cara negara merespons aspirasi mereka.
Pembangunan jalan Waynipah–Tampang Tua bukan persoalan membuka hutan, melainkan membuka akses hidup layak.
Jika prosedur administratif berubah menjadi tembok yang membungkam kebutuhan dasar warga, maka wajar jika masyarakat mempertanyakan keberpihakan pemerintah daerah. (**)
